Selasa, Juni 21, 2016

Membangun Kepemimpinan Sekolah yang Efektif


Kepemimpinan adalah merupakan faktor yang sangat penting dalam lembaga pendidikan, seperti halnya sekolah. Keberadaan seorang pemimpin di sekolah sangat mempengaruhi hampir seluruh proses yang terjadi dalam penyelenggaraan organisasi sekolah. Secara umum peran seorang pemimpin adalah sebagai penggerak atau motor seluruh sumber daya organisasi yang ada untuk mengarahkan organisasi pada tujuan yang ingin dicapai. Hal ini berarti bahwa fungsi dan peranan pemimpin dalam suatu organisasi sangat sentral dan esensial. Lebih dari itu dari segi manajemen seorang pemimpin, memiliki fungsi mulai dari merencanakan (planning), mengatur kerja sumber daya (organisaising), merealisasikan rencana (actuating), dan mengontrol aktifitas (controling). Kesemuanya itu dilakukan tidak lain adalah bertujuan untuk mewujudkan mesin organisasi sesuai dengan yang diinginkan bersama.
Sekolah sebagai lembaga tempat berlangsungnya proses pembelajaran siswa, dimana di sekolah secara sederhana dimaknai; terjadi proses pemberian informasi ilmu pengetahuan oleh guru dan dilanjutnkan proses penerimaan ilmu pengetahuan oleh siswa, merupakan suatu lembaga yang memiliki tugas yang sangat mulia. Karena berkaitan dengan fungsi membangun dan mempersiapkan generasi penerus bangsa dan negara. Bagaimana wajah suatu bangsa di masa depan akan sangat tergantung dari sejauh mana usaha kita dalam membangun dan mewujudkan kualitas sekolah (pendidikan) pada hari ini. Secara singkat dapat kita katakan, bahwa jika kita ingin menghasilkan output siswa yang berkualitas dari sekolah, maka kita harus mempersiapkan organisasi sekolah yang juga berkualitas pada saat ini. Artinya mutu pendidikan kita sangat tergantung dari mutu (kualitas) sekolah.
Berbicara tentang sekolah yang berkualitas tentunya bukanlah suatu hal sesederhana yang kita sangka. Hal ini, bukan berarti bahwa membangun sekolah yang berkualitas adalah sesuatu hal sulit. Namun disisi lain pun membangun sekolah yang berkualitas juga bukan hal yang mudah, namun memerlukan proses, kecermatan, ketepatan tindakan serta kadang keberanian yang mumpuni dari pengelolanya. Banyak lembaga sekolah yang sudah lama beroperasi dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitasnya, namun yang terjadi kualitas sekolahnya tetap jalan di tempat. Akan tetapi ada juga sekolah yang dari segi umur operasionalnya masih baru, namun ternyata memiliki kualitas yang diakui masyarakat sangat baik.
Di Indonesia bukan hal yang menjadi rahasia lagi, bahwa kualitas sekolah yang rendah mengakibatkan kualitas pendidikan yang rendah pula. Akibatnya kualitas sumber daya manusia Indonesia juga menjadi rendah. Artinya bahwa kualitas SDM Indonesia yang rendah berawal dari kualitas penyelenggaraan sekolah yang rendah. Menurut Mulyasa, E., (2013: 5) bahwa indikator-indikator yang menunjukkan bahwa pendidikan menghasilkan SDM berkualitas  dapat diidentifikasikan sebagai berikut, pertama; masalah TKI yang terkatung-katung, kedua; banyak isu teroris, ketiga; banyak generasi muda, pelajar, mahasiswa terlibat narkoba, VCD porno, dan perjudian, ke empat; bangsa Indonesia terdepan dalam hal KKN, ke lima; dikalangan masyarakat belum tumbuh budaya mutu, budaya malu, dan budaya kerja. Sementara itu rendahnya kualitas sekolah tidak terlepas dari rendahnya kualitas pengelola sekolah, termasuk di dalamnya adalah kepala sekolah dan guru.
Ada banyak faktor yang mempengaruhi, kualitas pelaksanaan proses pendidikan  di lembaga sekolah. Sederhananya proses menjadikan lembaga sekolah menjadi lembaga pendidikan yang berkualitas adalah dengan menjadikan seluruh komponen yang terlibat dalam pengelolaan lembaga sekolah dapat melaksanakan kegiatan dalam tupoksinya dengan mengikuti pola-pola kerja yang berkualitas pula. Adapun komponen-komponen yang terkait dengan  pengelolaan suatu lembaga sekolah meliputi antara lain: pemerintah, kepala sekolah, tenaga pengajar (guru), tenaga administrasi (staf TU), Komite Sekolah (masyarakat), pengawas sekolah, pendanaan (keuangan), sarana fisik, dan kurikulum.
Salah satu komponen yang sangat sentral dari pengelola sekolah adalah Kepala  Sekolah. Hal ini mengandung pengertian bahwa kualitas pengelolaan pendidikan di suatu sekolah hampir sebagaian besar akan sangat tergantung kepada kualitas kepemimpinan Kepala sekolah. Kepala Sekolah merupakan salah satu  komponen pendidikan  yang paling berperan  dalam meningkatkan  kualitas pendidikan (Mulyasa, E., 2013: 24). Oleh karena itu untuk mewujuadkan pendidikan yang berkualitas, maka akan sangat dituntut Kepemimpinan sekolah yang memiliki kualitas yang juga tinggi. Seperti diungkapkan Supriadi (1998: 346) bahwa: “Erat hubungannya antara mutu kepala sekolah dengan berbagai aspek kehidupan sekolah seperti disiplin sekolah, iklim budaya sekolah, dan menurunnya perilaku nakal peserta didik” (dalam Mulyasa, E., 2013: 24-25).
Selanjutnya seperti dikutip Raihani (2010:1) bahwa riset tentang kepemimpinan  pendidikan menunjukkan bahwa kepemimpinan memegang peranan yang sangat penting, atau menjadi  faktor utama pendorong kesuksesan upaya-upaya reformasi sekolah (Borko, Wolf, Simone, & Uchiyana, 2003). Pada gilirannya, ia juga menentukan pencapaian prestasi sekolah secara keseluruhan (Hill. 2002; Leithwood & Riehl, 2003), termasuk prestasi siswa sebagai fokus utama dalam sekolah (Hill, 2001; Hill & Russel, 1999; Leithwood, Louis, Anderson, & Wahlstrom, 2004)
Sejalan dengan tuntutan masyarakat  terhadap mutu pendidikan di Indonesia, belakangan ini muncul ide persekolahan modern dengan berbagai nama, seperti Sekolah Unggul, Sekolah Terpadu, Sekolah Percontohan, dan seterusnya. Di beberapa negara maju gerakan ini dinamakan dengan  ide Sekolah Efektif (Daryanto, 2011: 97).
Selanjutnya, seperti dikutip Raihani (2001: 8) menurut Razik dan Swanson (2001), bahwa kepemimpina  merupakan hal yang pokok untuk mengembangkan dan mengefektifkan sekolah. Sekolah dapat berjalan efektif jika kepala sekolahnya mampu menciptakan atmosfer ketertiban, kedisiplinan, dan bertujuan: sebuah suasana yang penuh harapan bagi para staf dan siswa; hubungan kerja sama yang baik antar staf; komitmen antar staf dan siswa untuk mencapai tujuan; waktu yang cukup untuk memberi pengarahan; dan pengembangan staf yang memadai (Bliss, 1991; Newmann, 1991).
Akhirnya, untuk mewujudkan sekolah efektif hanya mungkin didukung oleh kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan yang efektif (Daryanto: 2011: 97). Selajutnya Daryanto  (2011: 97) mengutip pendapat Fred M. Hechinger (dalam Davis & Thomas, 1989:17) yang pernah menyatakan:
“Saya tidak pernah melihat sekolah yang bagus dipimpin oleh kepala sekolah yang buruk da sekolah buruk dipimpin oleh kepala sekolah buruk. Saya juga menemukan sekolah yang gagal berubah menjadi sukses, sebaliknya sekolah yang sukses tiba-tiba menurun kualitasnya. Naik atau turunnya kualitas sekolah sangat tergantung kepada kualitas kepala sekolahnya”.


A.    PENGERTIAN KEPEMIMPINAN
Menurut Endang (2014: 37), setidaknya ada empat alasan mengapa seorang pemimpin diperlukan, yaitu: (1) karena banyak orang yang memerlukan figur pemimpin, (2) dalam beberapa situasi, seorang pemimpin perlu tampil mewakili kelompoknya, (3) sebagai tempat mengambil resiko bila terjadi tekanan terhadap kelompoknya, dan (4) sebagai tempat untuk meletakkan kekuasaan.
Kepemimpinan berasal dari kata “pimpin” yang memuat dua hal pokok yaitu:
Pemimpin sebagai subyek, dan yang dipimpin sebagai obyek. Kata pimpin mengandung pengertian mengarahkan, membina atau mengatur, menuntun dan juga menunjukkan ataupun mempengaruhi (Daryanto, 2011: 18).
Untuk lebih memahami makna atau pengertian kepemimpinan pada tulisan ini, akan dikemukakan beberapa pandangan para ahli tentang pengertian kepemimpinan antara lain, sebagai berikut:
  1. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, seperti dikutip Andang ( 2014: 38) pemimpin adalah orang yang memberikan bimbingan, penuntun, mengarahkan, dan berjalan di depan (precede). Pemimpin berperilaku untuk membantu orang lain dalam suatu organisasi  dengan kemampuan maksimal untuk mencapai tujuan.
  2. Menurut Stogdill (1974) dalam Daryanto (2011: 17), menegaskan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi kegiatan-kegiatan suatu kelompok yang diorganisasi, menuju kepada penentuan/pencapaian tujuan.
  3. Menurut Raihani (2010: 25), menjelaskan bahwa kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi yang termanifestasikan dalam perilaku-perilaku dan interaksi-interaksi antara pemimpin dan bawahan, yang terjadi dalam suatu konteks tertentu untuk mencapai tujuan-tujuan dan cita-cita bersama.
  4. Sephen P. Robbins (2006) mengatakan kepemimpinan adalah kemampuan untuk memengaruhi sekelompok anggota agar bekerja mencapai tujuan dan sasaran (Andang: 2014; 38).
  5. Menurut Surat Keputusan Badan administrasi  Kepegawaian Negara No. 27/KEP/1972 dalam Usman (2006: 280), mengatakan Kepemimpinan ialah kegiatan untuk meyakinkan orang lain sehingga dapat dibawa turut serta dalam suatu pekerjaan.
  6. Menurut Makawimbang, J.H. (2012: 29) “Kepemimpinan berarti kemampuan dan kesiapan yang dimiliki  oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, menggerakkan, mengarahkan, dan kalau perlu memaksa orang atau kelompok agar menerima pengaruh tersebut dan selanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantu tercapainya tujuan tertentu yang telah ditetapkan”.
  7. Menurut Andang (2014: 39), berdasarkan pada pandangan beberapa ahli disimpulkan bahwa  kepemimpinan adalah suatu proses yang dilakukan untuk memengaruhi seseorang atau sekelompok orang untuk bekerja secara bersama tanpa paksaan dalam mencapai tujuan dari suatu organisasi.
Dari beberapa pengertian kepemimpinan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa kepemimpinan adalah serangkaian usaha yang harus mampu dan siap dilakukan oleh seseorang, untuk dapat mempengaruhi, mendorong, mengajak, menuntun, dan menggerakkan orang lain, agar menyadari tugas yang diembankan kepadanya yang termanifestasi dalam perilaku-perilaku  dan sehingg berusaha semaksimal mungkin agar dapat mencapai tujuan bersama seperti yang telah ditetapkan.
   
B.    GAYA DAN MODEL KEPEMIMPINAN
Dalam melaksanakan fungsi-fungsi kepemimpinan, akan berlangsung aktivitas-aktivitas kepemimpinan. Menurut Andang (2014: 43-44) bahwa dalam aktivitas kepemimpinan tersebut setidaknya akan terlihat tiga pola gaya kepemimpinan, yaitu: (1) gaya pemimpin yang berpola pada kepentingan pelaksanaan tugas, (2) gaya kepemimpinan yang berpola pada pelaksanaan hubungan kerja, (3) gaya kepemimpinan yang berpola pada kepentingan hasil yang dicapai.
Menurut Makawimbang, J.H., (2012: 21-24), ada tiga gaya kepemimpinan atau dalam istilah Andang (2014: 44) tipe pokok kepemimpinan, yaitu: (1) Gaya/tipe kepemimpinan otokratis/otoriter, (2) Gaya/tipe kepemimpinan kendali bebas, dan (3) Gaya/tipe kepemimpinan Demokratis. Yang akan dijelaskan secara rinci di bawah ini.

a.    Gaya kepemimpinan otokrasi/otoriter.
Tipe ini menempatkan kekuasaan di tangan satu orang. Pemimpin bertindak sebagai penguasa tunggal. Kedudukan dan tugas anak buah semata-mata hanya sebagai pelaksana keputusan, perintah bahkan kehendak pimpinan (Andang: 2014: 44).
Selanjutnya Makawimbang, J.H. (2012: 21) menjelaskan antara lain kepemimpinan otoriter ini: (1) gaya kepemimpinan berorientasi kepada tugas, kurang perhatian pada kebutuhan para pekerja, (2) pemimpin memandang dirinya lebih dalam segala hal dibandingkan bawahannya, (3) perintah pimpinan sebagai atasan tidak boleh dibantah, karena dipandang sebagai satu-satunya yang paling benar, (4) kekuasaan pimpinan digunakan untuk menekan bawahan, dan (5) kesuksesan kepemimpinannya diukur dari segi timbulnya rasa takut dan kepatuhan  bawahan yang bersifat kaku.

b.    Gaya/tipe kepemimpinan kendali bebas (Laisser Faire).
Tipe ini merupakan kebalikan dari tipe kepemimpinan otoriter. Pemimpin berkedudukan sebagai simbol. Kepemimpinan dijalankan dengan memberikan kebebasan penuh pada orang yang dipimpinnya dalam mengambil keputusan atau melakukan kegiatan. Pemimpin hanya memfungsikan dirinya sebagai penasehat (Andang: 2014: 44).
Dilihat dari segi perilaku ternyata gaya kepemimpinan ini cenderung didominasi oleh perilaku kepemimpinan kompromi (compromiser) dan perilaku kepemimpinan pembelot (deserter). Kepemimpinan dijalankan tanpa berbuat sesuatu karena untuk bertanya (kompromi) tentang sesuatu rencana keputusan atau kegiatan, tergantung sepenuhnya pada orang-orang yang dipimpin. Dalam keadaan seperti itu setiap terjadi kekeliruan atau kesalahan, maka pemimpin selalu berlepas tangan karena merasa tidak ikut serta menetapkannya menjadi keputusan atau kegiatan yang dilaksanakan kelompok/organisasinya. Akibatnya, suasana kebersamaan tidak tercipta, kegiatan menjadi tidak terarah dan simpang siur. Wewenang tidak jelas dan tanggung jawab menjadi kacau, setiap anggota saling menunggu dan bahkan saling salah menyalahkan apabila diminta pertanggungjawaban (Makawimbang, J.H. 2012: 23-24).

c.    Gaya/tipe kepemimpinan Demokratis.
    Tipe ini menempatkan manusia sebagai faktor utama dan terpenting dalam setiap kelompok atau organisasi. Kepemimpinan ini dalam mengambil keputusan sangat mementingkan musyawarah, yang diwujudkan dalam setiap jenjang dan di dalam unit masing-masing (Andang: 2014: 44).
    Gaya kepemimpinan demokratis diwujudkan dengan dominasi perilaku sebagai pelindung dan penyelamat dan perilaku yang cenderung memajukan dan mengembangkan organisasi/kelompok. Gaya ini diwarnai dengan usaha untuk mengembangkan hubungan manusiawi (human relationship) yang efektif, berdasarkan prinsip-prinsip saling menghormati dan menghargai antara yang satu dengan yang lain. Proses kepemimpinan diwujudkan dengan cara memberi kesempatan yang luas bagi anggota kelompok/organisasi untuk berpartisipasi dalam setiap kegiatan. Para pemimpin pelaksana sebagai pembantu pucuk pimpinan memperoleh pelimpahan wewenang dan tanggung jawab, yang sama atau seimbang pentingnya bagi pencapaian tujuan bersama. Aktifitas dirasakan sebagai kebutuhan dalam mewujudkan partisipasi, yang berdampak pada perkembangan dan kemajuan kelompok/organisasi secara keseluruhan. Tidak ada perasaan tertekan dan takut, namun pemimpin selalu dihormati dan disegani secara wajar (Makawimbang, J.H. 2012: 22-23).
Dari ketiga tipe kepemimpinan yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulakan bahwa tipe kepemimpinan yang demokratislah yang paling cocok dipraktekkan dalam kepemimpinan pendidikan, khususnya kepemimpinan kepala sekolah. Hal ini karena kepemimpinan demokratis menempatkan proses organisasi dalam bingkai kebersamaan, dimana antara pemimpin dan bawahan bekerja sama dengan sukarela dan saling menghargai.
Berkaitan dengan gaya kepemimpinan tersebut, Andang (2014:44) menjelaskan bahwa seorang pemimpin mempuanyai sifat, kebiasaan, temperamen, watak, dan kebiasaan sendiri yang khas sehingga dengan tingkah laku dan gaya sendiri membedakan dirinya dengan orang lain. Gaya atau tipe kepemimpinannya tersebut pasti akan mewarnai perilaku kepemimpinan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya tidak ada gaya kepemimpinan yang paling baik dari setiap gaya yang ada. Akan tetapi yang ada adalah kepemimpinan yang paling efektif. Kepemimpinan yang paling efektif adalah kepemimpinan yang mampu memengaruhi dan menggerakkan bawahan agar mencapai tujuan bersama yang ditetapkan. Kepemimpinan menjadi efektif apabila gaya atau tipe kepemimpinan tersebut mampu digunakan dengan baik pada saat dan tempat yang tepat, dengan mengintegrasikan secara maksimal antara produktivitas dan kepuasan, pertumbuhan, dan pengembangan manusia.
Kepemimpinan pendidikan tugas kepemimpinannya terdapat beberapa model-model kepemimpinan yang digunakan. Adapun model-model kepemimpinan tersebut yaitu: (Makawimbang, J.H. 2012: 35-37)
  1. Kepemimpinan Visioner, adalah kemampuan seseorang pemimpin dalam bagaimana mencipta, merumuskan, mengkomunikasikan/mensosialisasikan dan mengimplementasikan pemikiran-pemikiran ideal yang berasal dari dirinya atau sebagai hasil interaksi sosial di antara anggota organisasi dan stakeholder yang diyakini sebagai cita-cita organisasi dimasa depan yang harus diraih atau diwujudkan melalui komitmen semua personil.
  2. Kepemimpinan Karismatik. Karisma merupakan sebuah atribut yang berasal dari proses interaktif antara pemimpin dan para pengikut. Atribut-atribut karisma antara lain rasa percaya diri, keyakinan yang kuat, sikap tenang, kemampuan berbicara, dan yang lebih penting adalah bahwa atribut-atribut dan visi pemimpin tersebut relevan dengan kebutuhan para pengikut.
  3. Kepemimpinan Transformasional. Tingkatan sejauh mana seorang pemimpin disebut transformasional terutama diukur dalam hubungannya dengan efek kepemimpinannya tersebut terhadap para pengikutnya. Dimana para pengikut dari seseorang pemimpin transformasional merasa adanya Kepercayaan (trust), kekagumana, Kesetiaan (Loyalty), dan hormat terhadap pemimpin tersebut, serta mereka termotivasi untuk melakukan lebih dari pada yang awalnya diharapkan terhadap mereka/terdorong untuk lebih sukses dari pemimpinnya.

C.    PERAN KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN SEKOLAH
Kepemimpinan pendidikan merupakan kemampuan seorang pemimpin dalam mempengaruhi komponen-komponen sekolah agar dapat bekerja dalam mencapai tujuan bersama. Seorang pemimpin dalam lingkup pendidikan tiada lain adalah kepala sekolah (Andang, 2014: 54).
Selanjutnya Makawimbang, J.H. (2012: 61) mengemukakan bahwa kepala sekolah adalah seorang fungsional guru yang diberi tugas untuk memimpin suatu sekolah dimana diselenggarakan proses belajar mengajar, atau tempat dimana terjadi interaksi antara guru yang memberi pelajaran dan murud yang menerima pelajaran.
Dari dua pengertian kepala sekolah di atas dapat di pahami bahwa peran seorang kepala sekolah sangat penting dalam memajukan sebuah sekolah. Seorang kepala sekolah merupakan sosok yang harus mampu melaksanakan tupoksinya sebagai pemimpin di sekolah agar mampu membawa sekolah yang dipimpinnya ke arah yang lebih maju dan lebih baik.
Menurut Daryanto (2011: 136) ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi kepala sekolah yaitu:
  1. Aspek akseptabilitas, adalah aspek mengandalkan dukungan riil dari komunitas yang dipimpinnya. Seorang kepala sekolah harus mendapat dukungan dari guru-guru dan karyawan lembaga yang bersangkutan sebagai komunitas formal yang dipimpinnya. Dukungan ini juga secara non formal harus mendapat pula dari masyarakat pendidikan termasuk komite sekolah sebagai wadah organisasi orang tua/wali siswa. Aspek akseptabilitas ini dalam teori organisasi disebut legitimasi (pengakuan) yakni kelayakan seorang pemimpin untuk diakui dan diterima keberadaannya oleh mereka yang dipimpin.
  2. Aspek Kapabilitas, menyangkut kompetensi (kemampuan) untuk menjalankan kepemimpinan. Untuk menjadi kepala sekolah tidak hanya cukup mendapat pengakuan dari guru-guru sebagai pendukungnya tapi juga harus memiliki kemampuan memimpin. Selain itu, memiliki kemampuan mengelola sumber daya yang ada dari orang-orang yang dipimpinnya agar tidak menimbulkan konflik.
  3. Aspek Integritas, adalah  sebuah persyaratan yang sempurna apabila aspek ekseptabilitas dan kapabilitas terpenuhi. Secara sederhana, integritas artinya komitmen moral dan berpegang teguh terhadap aturan main yang telah disepakati sesuai dengan peraturan dan norma yang mestinya berlaku. Faktor ini akan menentukan wibawa dan tidaknya seorang kepala sekolah. Integritas adalah menyangkut konsistensi dalam memegang teguh aturan main atau norma-norma yang berlaku di dunia pendidikan.

a.    Kompetensi Kepala Sekolah.
Menurut Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, “Kompetensi adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan atau memutuskan sesuatu hal” (Makawimbang, J.H., 2012: 62).
Selanjutnya Sagala (2009: 126) menyatakan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki oleh kepala sekolah dalam melaksanakan tugas dan tanggaung jawabnya. Sejalan dengan itu Syah (2002: 229) mengemukakan pengertian dasar kompetensi adalah kemampuan atau kecakapan. Usman (1994: 1) mengemukakan kompetensi berarti suatu hal yang menggambarkan  kualifikasi atau kemampuan seseorang, baik yang kualitatif maupun kuantitatif ” (Makawimbang, J.H., 2012: 62).
Kompetensi yang harus dimiliki oleh kepala sekolah menurut Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 13 Tahun 2007 mengenai Standar Kompetensi Kepala Sekolah/Madrasah, meliputi: (Andang, 2014: 141-143)
  1. Kompetensi Kepribadian. Dimensi kompetensi kepribadian kepala sekolah dalam sagala (2009: 127) dijabarkan sebagai berikut: (1) Memiliki integritas kepribadian yang kuat sebagai pemimpin, (2) memiliki keinginan yang kuat dalam pengembangan diri sebagai kepala sekolah, (3) bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi, (4) mampu mengendalikan diri dalam menghadapi masalah dalam pekerjaan sebagai kepala sekolah, (5) memiliki bakat dan minat dalam jabatan pemimpin pendidikan (Makawimbang, J.H., 2012: 65).
  2. Kompetensi Manajerial. Seorang kepala sekolah, disamping harus mampu melaksanakan proses manajemen yang merujuk pada fungsi-fingsi manajemen, juga dituntut untuk memahami sekaligus menerapkan seluruh substansi kegiatan pendidikan.
  3. Kompetensi Kewirausahaan. Kewirausahaan (entrepreneurship) adalah proses menciptakan sesuatu yang baru dan berani mengambil resiko dan mendapatkan keuntungan. Para ahli sepakat bahwa yang dimaksud dengan kewirausahaan menyangkut tiga perilaku yaitu: (a) kreatif, (b) komitmen (motivasi tinggi dan penuh tanggungjawab), (c) berani mengambil resiko dan kegagalan.
  4. Kompetensi Supervise dan. Kemampuan mensupervisi dan mengaudit kinerja guru dan personil lainnya di sekolah, dilakukan dengan kegiatan sebagai berikut: 1) mampu melakukan supervisi sesuai dengan prosedur dan teknik-teknik yang tepat, 2) mampu melakukan monitoring, evaluasi dan pelaporan program pendidikan  sesuai dengan prosedur yang tepat, 3) menindaklanjuti hasil supervisi akademik terhadap guru dalam rangka peningkatan profesionalisme guru.
  5. Kompetensi Sosial. Pakar psikologi pendidikan menyebut kompetensi sosial  itu sebagai sosial intelegence atau kecerdasan sosial. Kecerdasan sosial merupakan salah satu dari sembilan kecerdasan (logika, bahasa, musik, raga, ruang, pribadi, alam, dan kuliner). Semua kecerdasan itu dimiliki oleh seseorang, hanya mungkin beberapa diantaranya menonjol dan yang lain biasa saja atau kurang. Yang dimaksud dengan kompetensi sosial merupakan suatu kemampuan seorang kepala sekolah/guru dalam hal berkomunikasi  dan bergaul secara efektif dengan: a) peserta didik, b) sesama pendidik, c) tenaga kependidikan, d) orang tua/wali peserta didik, dan e) masyarakat sekitar (Depdiknas, 2003: 27).
b.    Tugas Kepala Sekolah
Kepala sekolah sebagai pemimpin tertinggi di dalam suatu sekolah mempunyai tugas yang kompleks dan sangat menentukan maju mundurnya suatu sekolah. Tugas kepala sekolah yang kompleks tersebut, tidak dapat dirumuskan seluruhnya ke dalam suatu prosedur  tugas kepala sekolah (Makawimbang, J.H., 2012: 81).
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional (Depdiknas: 2006), terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai: (1) edukator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan (Daryanto, 2011: 30).
Kepala sekolah dalam melaksanakan fungsinya sebagai edukator harus memiliki strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme tenaga kependidikan di sekolahnya. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif, memberikan nasehat kepada warga sekolah, memberikan dorongan kepada seluruh tenaga kependidikan, serta melaksanakan model pembelajaran yang menarik, dan melaksanakan program ekselerasi bagi peserta didik yang cerdas di atas normal (Mulyasa, E., 2013: 98-99). Lebih lanjut Makawimbang, J.E. (2012: 81) mengemukakan ada tujuh aspek tugas penting kepala sekolah sebagai pendidik, yaitu: mengajar di kelas, membimbing guru, mengembangkan staf, mengikuti perkembangan IPTEK, dan memberi contoh Bimbingan Konseling/Karier yang baik.
Kepala sekolah sebagai manajer. Mulyasa, E. (2013: 103) menjelaskan bahwa dalam rangka melaksanakan peran dan fungsinya sebagai manajer, kepala sekolah harus memiliki strategi yang tepat untuk memberdayakan tenaga kependidikan melalui kerja sama atau kooperatif, memberi kesempatan kepada para tenaga kependidikan untuk meningkatkan profesinya, dan mendorong keterlibatan seluruh tenaga kependidikan dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah. Lebih lanjut  Makawimbang, J.E. (2012: 83) mengatakan ada empat hal penting tugas kepala sekolah sebagai manager, yaitu: menyususn program sekolah, menyusun organisasi kepegawaian di Sekolah, menggerakkan staf (guru dan karyawan), dan mengoptimalkan sumber daya sekolah.
Kepala sekolah sebagai Administrator, memiliki hubungan yang sangat erat dengan berbagai aktifitas pengelolaan administrasi yang bersifat pencatatan, penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah (Mulyasa, E., 2013: 103). Selanjutnya Kepala sekolah sebagai administrator mempunyai tugas enam hal penting, yaitu mengelola administrasi; KBM dan BK, kesiswaan, ketenagaan, keuangan, sarana prasarana, dan persuratan.
Kepala sekolah sebagai supervisor, yaitu mensupervisi pekerjaan yang dilakukan oleh tenaga kependidikan (Mulyasa, E., 2013: 111). Sbagai supervisor tugas kepala sekolah meliputi: penyusunan program supervisi, melaksanakan program supervisi, dan memanfaatkan hasil supervisi (Makawimbang, J.E., 2012: 85).
Kepala sekolah sebagai Inovator, tugasnya meliputi dua hal yaitu kemampuan mencari/menemukan gagasan baru untuk pembaharuan sekolah, dan kemampuan untuk melaksanakan pembaharuan di sekolah. Sedangkan tugas kepala sekolah sebagai motivator meliputi tiga hal yaitu: kemampuan mengatur lingkungan kerja, kemampuan mengatur sarana kerja, dan kemampuan menetapkan prinsip penghargaan dan hukuman (reward and punishment) (Makawimbang, J.E., 2012: 86-87).

D.    MEMBANGUN KEPEMIMPINAN SEKOLAH YANG EFEKTIF
a.    Membangun Sekolah Efektif
Membangun sekolah efektif berarti merumuskan apa yang harus dicapai dan apa yang harus dikerjakan. Sasaran-sasaran  pengembangan sekolah dirancang dan dilaksanakan dengan mengedepankan ekspektasi yang tinggi sehingga cita-cita sekolah yang dirumuskan melalui visi dan misi dapat dicapai secara efektif (Andang, 2014: 152).. Sekolah dikatakan efektif apabila terdapat hubungan yang kuat antara apa yang telah dirumuskan dengan hasil-hasil yang telah dicapai (Andang, 2014: 153).
Cheng (1996) menunjukkan bahwa sekolah dikatakan efektif jika mempunyai kapasitas untuk memaksimalkan pencapaian tujuan-tujuan dan fungsi sekolah. Edmons (1979 &1983), seperti dikutip dalam Richards (1991), menyatakan bahwa sekolah yang efektif dapat dinilai dari perubahan-perubahan dalam karakteristik organisasional sekolahnya, yang mencakup fokus pada pendidikan dasar, kepemimpinan intruksional, ekspektasi-ekspektasi akademik yang tinggi, ketertiban, dan suasana sekolah yang positif (Raihani, 2010: 8).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan, bahwa sekolah yang efektif adalah sekolah yang mampu mewujudkan pencapaian hasil kerja yang paling maksimal terhadap apa yang telah dirumuskan dalam rencana-rencana program yang telah disusun. Semakin tinggi pencapaian hasil kerja terhadap program yang telah direncanakan, maka dikatakan semakin efektiflah sekolah tersebut. Sebaliknya semakin rendah hasil pencapaian kerja terhadap program yang telah direncanakan maka dikatakan semakin tidak efektif sekolah tersebut. Oleh karena itu kefektifan sekolah diukur dari pencapaian hasil kerja yang telah dicapai.
Menurut Peter Mortimore, dalam andang (2014: 153) bahwa sekolah efektif dicirikan sebagai berikut: (1) sekolah memiliki visi dan misi yang jelas dan dijalankan dengan konsisten; (2) lingkungan sekolah yang baik dan adanya disiplin serta keteraturan dikalangan pelajar dan staf; (3) kepemimpinan kepala sekolah yang kuat; (4) penghargaan bagi guru, staf, dan siswa yang berprestasi; (5) pendelegasian wewenang yang jelas; (6) dukungan masyarakat sekitar; (7) sekolah mempunyai rancangan program yang jelas; (8) sekolah mempunyai fokus sistemnya sendiri; (9) pelajar diberi tanggung jawab; (10) guru menerapkan strategi-strategi pembelajaran yang inovatif; (11) evaluasi yang berkelanjutan; (12) kurikulum yang terancang dan terintegrasi satu sama lainnya; (13) melibatkan orang tua dan masyarakat dalam membantu pendidikan anak-anaknya.
Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat (Weber, 1971; Austin, 1978; Brookeover dan Lezonte, 1979; Edmons & Frederickson, 1979; Phi Delta Kappa, 1980) mengemukakan bahwa sekolah efektif adalah sekolah yang memiliki kepemimpinan yang kuat, memiliki harapan yang tinggi bagi siswa dan guru, lingkungan sekolah yang kondusif, kepemimpinan yang menekankan kepada instructional leader, kemajuan siswa sering dimonitoring, dan adanya dukungan dan pelibatan orang tua secara aktif (Andang, 2014: 157)

b.    Membangun Kepemimpinan Kepala Sekolah Efektif.
Mengingat tugas kepemimpinan yang kompleks pengertian kepemimpinan tidak dapat dibatasi  secara pasti, termasuk pengertian kepemimpinan efektif di sekolah. Namun, sejumlah rujukan menjelaskan bahwa kepemimpinan efektif di sekolah dapat berkait dengan kepemimpinan kepala sekolah di sekolah yang efektif. Atas dasar pandangan ini, maka kepemimpinan efektif di sekolah dapat dimengerti sebagai bentuk kepemimpinan yang menekankan kepada pencapaian prestasi akademik dan non akademik sekolah. Dengan demikian, pemimpin pendidikan efektif selalu berkonsentrasi untuk menggerakkan faktor-faktor potensial bagi ketercapaian tujuan sekolah. Sebagai pemimpin pendidikan pula, kepala sekolah efektif mampu menunjukkan kemampuannya mengembangkan potensi-potensi sekolah, guru, dan siswa untuk mencapai prestasi maksimal (Daryanto, 2011: 99).
Menurut Razik dan Swanson (2001) dalam Raihani (2010: 8) mengemukakan bahwa kepemimpinan merupakan hal yang pokok untuk mengembangkan dan mengefektifkan sekolah. Bliss (1991), Newmann (1991) dalam Raihani (2010: 8) lebih lanjut menjelaskan bahwa sekolah dapat berjalan efektif jika kepala sekolahnya mampu menciptakan atmosfer ketertiban, kedisiplinan, dan bertujuan: sebua suasana yang penuh harapan bagi para staf dan siswa; hubungan kerja sama yang baik antar staf ; komitmen antar staf dan siswa untuk mencapai tujuan; waktu yang cukup untuk memberi pengarahan; dan pengembangan staf yang memadai.
Berdasarkan hasil kajian pada berbagai sekolah unggulan yang telah sukses mengembangkan program-programnya, Martin and Wilower dan Wilower and Kmetz (dalam Mulyasa, 2012) seperti dikutip Andang (2014: 151) mengemukakan indikator kepemimpinan sekolah efektif, sebagai  berikut:
  1. Memiliki visi yang kuat tentang masa depan sekolahnya dan mampu mendorong semua warga sekolah untuk mewujudkannya.
  2. Memiliki harapan yang tinggi terhadap prestasi peserta didik dalam kinerja seluruh warga sekolah.
  3. Senantiasa memprogramkan dan menyempurnakan diri untuk mengadakan pengamatan terhadap berbagai aktifitas guru dan pembelajaran di kelas serta memberikan umpan balik positif dan konstruktif dalam memecahkan masalah dan memperbaiki pembelajaran.
  4. Mendorong pemamfaatan waktu secara efisien dan merancang prosedur untuk meminimalisir stres dan konflik negatif.
  5. Mendayagunakan berbagai sumber belajar dan melibatkan seluruh warga sekolah secara kreatif, produktif dan akuntabel.
  6. Memantau kemajuan peserta didik secara individual maupun kelompok serta memanfaatkan informasi untuk mengarahkan perencanaan pembelajaran.
  7. Melakukan evaluasi dan perbaikan secara berkesinambungan.
Selanjutnya Daryanto (2011: 108) mengemukakan bahwa kepemimpinan yang efektif dapat dilihat dari tujuh perilaku kepala sekolah  untuk: (a) menerapkan kepemimpinan sekolah efektif, (b) melaksanakan kepemimpinan instruksional, (c) memelihara iklim belajar yang berpusat pada siswa, (d) mengembangkan profesionalitas dan mengelola SDM, (e) melibatkan orang tua dan menjalin kemitraan dengan masyarakat, (f) mengelola sekolah secara efektif dan melaksanakan program harian, dan (g) melaksanakan hubungan interpersonal secara efektif.
Berdasarkan hasil kajian literatur yang dilakukan, Northouse (2001) yang dikutip Daryanto (2011: 146) menyimpulkan bahwa seorang yang dapat menampilkan kepemimpinan transformasional ternyata dapat lebih menunjukkan sebagai seorang pemimpin yang efektif dengan hasil kerja yang lebih baik. Oleh karena itu, merupakan hal yang sangat menguntungkan jika para kepala sekolah dapat menerapkan kepimpinan transformasional di sekolahnya.
Sejalan dengan pemikiran diatas, Ancok, J. (2012) menjelaskan, terkait dengan gaya kepemimpinan transformasional akan mampu menggugah semangat inovasi pada karyawan (baeahan), baik pada level individual maupun  pada level kelompok. Secara umum kepemimpinan transformasional memiliki sifat memanusiakan (ngewongke) pengikutnya, memperlakukan pengikutnya sebagai manusia cerdas dan terhormat, mampu ‘mengelus-elus’ hati pengikutnya agar memunculkan potensi insani secara maksimal. Mereka juga mampu mendorong anggota untuk mengembangkan aspirasi dan memperoleh makna dalam bekerja, mampu mengembangkan pemimpin-pemimpin baru di lingkungan kerjanya, menciptakan lingkungan kerja yang apresiatif, sehingga menggugah gairah dan semangat untuk berinovasi dan belajar bersama, menjadikan dirinya sebagai model intergritas bagi anggotanya.
Selanjutnya Northouse (2001) dalam Daryanto (2011: 146-147) memberikan beberapa tips untuk menerapkan kepemimpinan transformasional, yakni sebagai berikut:
  1. Berdayakan seluruh bawahan untuk melakukan hal terbaik untuk organisasi;
  2. Berusaha menjadi pemimin yang bisa diteladani yang didasari nilai yang tinggi;
  3. Dengarkan semua pemikiran bawahan untuk mengembangkan semangat kerja sama;
  4. Ciptakan visi yang dapat diyakini oleh semua orang dalam organisasi;
  5. Bertindak sebagai agen perubahan dalam organisasi dengan memberikan contoh bagaimana menggagas dan melaksanakan  suatu perubahan;
  6. Menolong organisasi dengan cara menolong orang lain untuk berkontribusi terhadap organisasi.
Dari penjelasan di atas menunjukkan bahwa salah satu indikator kepemimpinan sekolah yang efektif adalah kepemimpinan yang mampu memelihara suasana dan kondisi yang kondusif dalam sekolah. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi yang baik bagi proses kerja guru dan staf, dan telebih lagi kondisi yang baik bagi siswa dalam menyelenggarakan  proses pembelajaran. Dengan adanya kondisi atau suasana yang baik di sekolah mengakibatkan terlaksananya kinerja guru dan staf yang yang maksimal. Sementara itu disisi kinerja yang maksimal dari guru dan staf, mengindikasikan terwujudnya kepuasan kinarja.
Menurut Thoha (2007) dalam Meiniyari (2012) menjelaskan bahwa gaya kepemimpinan yang efektif adalah gaya kepemimpinan yang dapat menyesuaikan dengan kematangan bawahan yaitu gaya kepemimpinan situasional, sehingga dapat meningkatkan motivasi kerja dari bawahan, yang nantinya dapat meningkatkan produktivitas kerja. Selanjutnya Hanafi (2007) dalam Ekosusilo, M. Dan Soeparjo (2014) bahwa ada banyak faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja. Salah satunya adalah faktor perilaku pemimpin; perilaku pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan, perilaku dan kedisiplinan karyawan.
Berdasarka hasil penelitian dari Ekosusilo, M., dan Soparjo (2014) tentang “Faktor dominan yang Mempengaruhi Motivasi Kerja, Kinerja dan Kepuasan Kerja Guru SMA” sebagai berikut:
  1. Budaya organisasi sekolah, perilaku kepemimpinan, dan kompetensi pedagogik secara bersama-sama berpengaruh langsung terhadap motivasi kerja sebesar 18,882%. Sedangkan pengaruh variabel perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap motivasi kerja guru positif dan signifikan yaitu sebesar 5,336%.
  2. Pengaruh variabel perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap kinerja guru berpeengaruh langsung positif dan signifikan yaitu sebesar 1,44%. Arah hubungan yang positif berarti perilaku kepemimpinan bisa diterima atau dirasakan adil dan bijaksana oleh guru, sehingga dapat meningkatkan kinerja guru.
  3. Sedangkan variabel perilaku kepemimpinan kepala sekolah terhadap kepuasan kerja guru sebesar 5,29%.
Dengan demikian dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa perilaku kepemimpinan kepala sekolah yang efektif berpengaruh terhadap motivasi kerja guru, hasil kinerja guru, dan kepuasan kinerja guru.
        Selanjutnya berkaitan dengan pengaruh kepemimpinan sekolah terhadap keadaan sekolah, Deal & Peterson (1999) seperti dikutip Hsin-Hsiange Lee dan Mao-neng Fred Li (2015), sebagai berikut:
“The school principal is the creator or re-shaper of a school’s teacher culture and influences not only the actions of the school staff, but also their motivations and spirit”.
(“Kepala sekolah adalah pencipta atau re-pembentuk budaya guru di sekolah dan berpengaruh tidak hanya pada tindakan staf sekolah, tetapi juga motivasi dan semangat mereka”).
Lebih lanjut Hsin-Hsiange Lee dan Mao-neng Fred Li (2015), mengatakan: “The principal’s personality traits, attitudes, and behaviors have a crucial influence on school culture and, through school culture, on teacher culture, especially its atmosphere”. (Kepribadian, sikap, dan perilaku kepala sekolah memiliki pengaruh penting pada budaya sekolah dan, melalui budaya sekolah, di budaya guru, terutama atmosfernya).
Seperti dikutip Hsin-Hsiange Lee dan Mao-neng Fred Li (2015), bahwa:
“previous studies have demonstrated that school principals have a significant direct or indirect impact on teachers’ performance, job satisfaction, effectiveness, motivation, commitment to professional development, and collaboration”. (Anderman, Belzer, & Smith, 1991; Nnadozie, 1993; Campo, 1993; Hallinger & Heck, 1996; Reames, 1997; Jones, 1998; Hallinger, 2003; Sahin, 2004; Engels, Hotton, Devos, Bouckenooghe, & Aelterman, 2008; DuPont,2009)
(penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa kepala sekolah memiliki dampak langsung maupun tidak langsung yang signifikan terhadap kinerja guru, kepuasan kerja, efektivitas, motivasi, komitmen untuk pengembangan profesional, dan kolaborasi).
The literature review on effective principals reveals that they appear “transformational” rather than “transactional” (Bass, 1985; Bass & Avolio, 1988; Day, 2000; Sahin, 2004), “interactive” rather than “buffered” (Anderson, 2004; Gurr, Drysdale, & Mulford, 2006), and “empowering” rather than “controlling” (Blase & Anderson,1995; Alkire, 1995; Day, 2000), and that their school culture tend to be “collegial” rather than “bureaucratic” (Kline, 1987; Deal & Peterson, 1999; Drago-Severson & Pinto, 2006) and “collaborative” rather than “individualistic” (Colley, 1999; Gruenert, 2000; Leonard & Leonard, 2003).
(Review literatur pada kepala sekolah yang efektif mengungkapkan bahwa mereka muncul "transformasional" ketimbang "transaksional" (Bass, 1985; Bass & Avolio, 1988; Day, 2000; Sahin, 2004), "interaktif" daripada "buffered" (Anderson, 2004 ; Gurr, Drysdale, & Mulford, 2006), dan "memberdayakan" daripada "mengendalikan" (Blase & Anderson, 1995; Alkire, 1995; Day, 2000), dan bahwa budaya sekolah mereka cenderung "kolegial" daripada " birokrasi "(Kline, 1987; Deal & Peterson, 1999; Drago-Severson & Pinto, 2006) dan" kolaboratif "daripada" individualistis "(Colley, 1999; Gruenert, 2000; Leonard & Leonard, 2003)).
Jadi kepala sekolah efektif memiliki karakteristik dalam melaksanakan kepemimpinannya, yaitu:
  1. Melaksanakan kepemimpinan transformasional ketimbang transaksional,
  2. Bersifat interaktif daripada buffered (penyangga),
  3. Bersifat memberdayakan daripada mengendalikan,
  4. Melaksanakan budaya sekolah kolegial daripada birokrasi, dan
  5. Melaksanakan roda organisasi secara kolaboratif daripada individualistik.

E.    KESIMPULAN
Berdasarkan uraian pada tulisan di atas maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
  1. Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional, terdapat tujuh peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai: (1) edukator (pendidik); (2) manajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan
  2. Membangun sekolah efektif berarti merumuskan apa yang harus dicapai dan apa yang harus dikerjakan. Sasaran-sasaran  pengembangan sekolah dirancang dan dilaksanakan dengan mengedepankan ekspektasi yang tinggi sehingga cita-cita sekolah yang dirumuskan melalui visi dan misi dapat dicapai secara efektif.
  3. Kepemimpinan sekolah yang efektif dapat dilihat dari tujuh perilaku kepala sekolah  untuk: (a) menerapkan kepemimpinan sekolah efektif, (b) melaksanakan kepemimpinan instruksional, (c) memelihara iklim belajar yang berpusat pada siswa, (d) mengembangkan profesionalitas dan mengelola SDM, (e) melibatkan orang tua dan menjalin kemitraan dengan masyarakat, (f) mengelola sekolah secara efektif dan melaksanakan program harian, dan (g) melaksanakan hubungan interpersonal secara efektif.


DAFTAR PUSTAKA
  1. Adang. 2014. Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah Konsep, Strategi, dan inovasi menuju sekolah efektif. Cetakan 1. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA.
  2. Ancok, Jamaludin. 2012. Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi. Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.
  3. Daryanto. 2011. Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin Pembelajaran. Cetakan 1. Yogyakarta: PENERBIT GAVA MEDIA.
  4. Makawimbang, H.J. 2012. Kepemimpinan Pendidikan yang Bermutu. Cetakan 1. Bandung: ALFABETA,cv.
  5. Mulyasa. 2013. Menjadi Kepala Sekolah Profesional. Cetakan keduabelas. Bandung: PT REMAJA ROSDAKARYA.
  6. Raihani. 2010. Kepemimpinan Sekolah Transformatif. Cetakan I. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta
  7. Ekosusila, M. & Soeparjo. 2014. Faktor Dominan Yang Mempengaruhi Motivasi Kerja, Kinerja, dan Kepuasan Kerja Guru SMA. Jurnal Ilmu Pendidikan, Jilid 20, Nomor 2, Desember 2014, hlm. 134-143.
  8. Hsin-Hsiange Lee and Mao-neng Fred Li. 2015. Principal Leadership and Its Link to the Development of a School’s Teacher Culture and Teaching Effectiveness: A Case Study of an Award-Winning. International Journal of Education Policy & Leadership Volume 10(4) 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar